Dok. kini usia pernikahan kami memasuki sewindu, tatkala menikah usia kami terpaut 1 tahun, saya kala itu 18 tahun. Apakah ada dampak bagi kami. Terima kasih?
Ny. Narsi, Buleleng
081236xxxx
Ibu Narsi, fenomena pernikahan dini masyarakat banyak dijumpai di pedesaan, bahkan pinggiran kota besar. Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia/SDKI, 2012 mendapatkan 12,8 % perempuan usia 15-19 tahun sudah menikah. Data riset kesehatan dasar/Riskesdas, 2010 menunjukkan 46,7% pernikahan usia dini kurang dari 19 tahun, dan usia 10-14 tahun hampir 5%. Hal ini dikaitkan dengan masalah pendidikan karena minimnya pengetahuan/ketidaktahuan dan sosial ekonomi yang rendah, serta ketidakpedulian remaja akan kesehatan reproduksi, nutrisi, faktor risiko fisik-psikis, dll. Berbagai dampak buruk akibat ketidaksiapan baik fisik, psikis, sosial, ekonomi dapat memicu tingginya angka aborsi, prematuritas, infeksi organ reproduksi bahkan kematian. Remaja hendaknya cerdas dalam menjalankan hidup, dan memiliki rencana jelas tentang kehidupannya agar menjadi Genre/Generasi berencana dalam meminimalisir berbagai persoalan remaja terkait reproduksi.
Organ reproduksi ideal/siap untuk kehamilan berkisar 20-35 tahun. Usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun berisiko mengalami gangguan kesehatan tidak hanya bumil juga bayinya, seperti : pada bayi ada peluang risiko berat badan lahir bayi rendah/kecil (dibawah 2500 gram), kelahiran prematur, infeksi, bahkan kecacatan; pada ibu dapat terjadi tekanan darah tinggi/preklampsia/eklampsia, risiko kanker mulut rahim/serviks akibat ketidaksiapan organ reproduksi menerima kehamilan/paparan sperma, belum lagi persoalan kesiapan mental bumil dalam memelihara kehamilan termasuk penanganan pasca persalinan/menyusui. Peran jarak anak yang terlalu dekat/kurang 2 tahun, kehamilan terlalu sering/lebih 3 kali berisiko tingginya kesakitan dan kematian pada ibu. Dengan Kepedulian semua pihak kehamilan di usia ideal akan berpotensi bayi lahir selamat dari ibu sehat memiliki pengetahuan dan kepedulian yang cukup akan kehamilan, dan menyusui, serta memahami arti perubahan siklus hidup dari 1000 hari pertama kehidupan, bayi, balita, anak, remaja, dewasa sampai usia lanjut (continuum of care) untuk dapat terwujudnya generasi sehat, cerdas, berkualitas, idaman keluarga sejahtera.
Sejak dicanangkan ICPD/International Conference on Population and Development tahun 1994, fokus perhatian kesehatan reproduksi mengutamakan pemenuhan hak-hak reproduksi perorangan. Pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan telah bergeser ke arah yang lebih luas dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan kesuburan dengan keluarga berencana/KB menjadi berfokus pada kesehatan dan hak-hak reproduksi perempuan dan laki-laki dengan melaksanakan akses universal kesehatan reproduksi/Universal Access to Reproductive Health (UAtRH). Implementasi kesepakatan itu diterjemahkan sebagai pelayanan kesehatan reproduksi yang harus dilaksanakan secara terpadu di tingkat pelayanan dasar melalui pendekatan siklus hidup atau life cycle approach yang dimulai sejak masa prahamil, hamil, bersalin dan nifas, bayi, balita, remaja, dewasa hingga usia lanjut, serta memandang persoalan kesehatan secara holistik dan komprehensif.
Kesehatan reproduksi sesuai pasal 71 Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009, hakekatnya keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Program Penerapan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu (PKRT) dilaksanakan dengan mengintegrasikan komponen-komponen program dalam ruang lingkup kesehatan reproduksi yang meliputi : kesehatan ibu dan anak, KB, kesehatan reproduksi remaja/KRR, pencegahan dan penanggulangan infeksi menular seksual/IMS dan infeksi saluran reproduksi/ISR, termasuk HIV/AIDS, kanker dan osteoporosis pada usia lanjut dan berbagai aspek kesehatan reproduksi lainnya, seperti : kekerasan berbasis gender, pencegahan dan penanganan kemandulan dan komplikasi aborsi, dll.
Jadi ibu narsi sejalan dengan upaya pemerintah RI yang telah menuangkan dalam berbagai program dan kebijakan, panduan dan perhatian besar pada kesehatan reproduksi, serta investasi jangka panjang dalam upaya peningkatan kualitas masyarakat. Pengalaman ibu amatlah berharga, yang lalu biarlah berlalu, mudah-mudahan generasi berikutnya tidak mewarisi hal yang sama. Dengan upaya peningkatan pengetahuan dan kepedulian akan kesehatan reproduksi dapat menjadi “kunci” bagi kesehatan masyarakat di masa depan. Matur suksma.
dr. I Gusti Ngurah Made Bayuningrat, Sp.OG., M.M., C.Ht
Dosen & Dokter Obgin Fakultas Kedokteran & Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa