Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah artikel tentang aborsi di Bali Post. Kejadian aborsi di kalangan remaja meningkat, apakah fenomena ini sebagai dampak global, seperti pengaruh iptek? Bagaimana seharusnya kita memandang persoalan ini? Mohon sharing-nya!
Ny. Ais, Klungkung
08133725xxxx
Fenomena aborsi di sengaja pada kalangan remaja yang Ibu Ais sampaikan tentu sebuah perilaku tidak terpuji, jika hal itu dilakukan tanpa indikasi medis jelas. Secara statistik, faktor memengaruhi sikap terhadap aborsi. Faktor kognitif, pemahaman tentang kesehatan reproduksi dan peran lingkungan sebagai sumber informasi. Faktor afektif, daerah tempat tinggal, gaya pacaran, perilaku seksual, dan memiliki teman berperilaku aborsi, serta faktor konatif yakni usia dan tingkat pendidikan. Aborsi merupakan salah satu penyebab penting kematian ibu.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendeskripsikan, remaja adalah masa di mana individu berkembang, dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seks sekunder sampai mencapai kematangan seksual. Individu mengalami perkembangan biologis ditandai percepatan pertumbuhan tulang, fungsi hormonal, psikologik perkembangan kognitif dan kepribadian, sosiologik persiapan menuju dewasa muda. Semua terkait satu dengan lainnya. Masa transisi, masa peralihan di mana terjadi transisi secara fisik. Perubahan akibat aktifnya hormon seks. Remaja merupakan “jembatan” masa anak-anak ke dewasa. Remaja mengalami perubahan sangat cepat. Ditandai, kematangan seksual, pencarian identitas diri, pendefinisian nilai-nilai personal dan menemukan peran-peran sosialnya. Kelompok aktif secara demografi dibandingkan masa kehidupan lainnya. Dari sisi fertilitas, mobilitas, status pernikahan dan sosial yang mengalamihal-hal dramatis. Departemen Kesehatan (Depkes) (2004) menyatakan remaja usia antara 12-15 tahun, Survery Kesehatan Remaja Republik Indonesia (SKRRI) (2007) remaja adalah perempuan dan laki-laki yang belum kawin usia 15-24 tahun.
Pengertian aborsi secara medis adalah berakhir atau gugurnya kehamilan sebelum usia 20 minggu. Sebelum janin dapat hidup di luar kandungan secara mandiri. Abortus ada yang spontaneous/tidak disengaja, akibat ibu mengalami trauma berat, karena penyakit menahun, kelainan saluran reproduksi atau keadaan abnormal lain. Dan abortus provokatus dilakukan sengaja, dibedakan atas abortus therapeutics, jika ada indikasi kehamilan membahayakan/ mengancam nyawa ibu. Dan abortus criminalis bila pengguguran kandungan yang dilakukan sengaja tanpa alasan medis dan kesehatan jelas. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, kejadian aborsi menyumbang 5% angka kematian ibu di Indonesia. ‘Kisara’ menyebutkan dari 2,3 aborsi di Indonesia, sekitar 30% dilakukan remaja. Penelitian menunjukkan, perilaku seks bebas dan aborsi di kalangan remaja dipengaruhi beberapa faktor. Pemahaman tentang kesehatan reproduksi, terpaan media/globalisasi, komunikasi orangtua dan pengaruh lingkungan. Dampak aborsi, seperti : trauma kehamilan/persalinan, frigiditas/vaginismus/gangguan fungsi seksual, konflik pernikahan (keperawanan, latar belakang kehidupan sebelumnya) yang mengganggu kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya. Dampaknya tidak saja dialami si ibu, namun keluarga dan lingkungan sekitarnya, baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Walaupun legalitas tindakan aborsi selalu diperdebatkan, namun ada pihak tertentu mengganggap aborsi adalah tindakan legal dan boleh dilakukan sebagai program pengendalian jumlah kelahiran. Sementara di pihak lain terhalang norma-norma agama, hukum, dan sosial yang memandang aborsi sebagai tindakan keji dan pembunuhan.
Secara hukum aborsi dengan alasan non medis, jelas di larang. Tindakan aborsi dapat diancam hukuman pidana sesuai KUHP Pasal 346 sampai 349. Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meyuruh orang lain untuk itu diancam pidana penjara seberat-beratnya 4 tahun. Ada yang sampai 12 tahun dan disertai denda Rp 1 miliar, bahkan pencabutan ijin profesi tergantung pasal di atas. Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 juga mengatur hal itu. Walaupun dalam kondisi tertentu, aborsi dapat dibenarkan. Pelaku aborsi harus telah mendapat konseling konselor yang kompeten dan berwenang sesuai Pasal 76 UU Kesehatan. Ditegaskan, aborsi hanya dapat dilakukan dalam kondisi : sebelum kehamilan 6 minggu dari hari pertama haid terakhir kecuali dalam kedaruratan medis. Aborsi dilakukan oleh tenaga kesehatan terampil dan memiliki sertifikat kewenangan. Ada persetujuan ibu hamil bersangkutan, dengan izin suami kecuali perkosaan. Penyedia layanan kesehatannya memenuhi syarat yang ditetapkan menteri, namun bila tindakan aborsi dilakukan tidak sesuai Pasal 75 ayat 2, dapat dipidana penjara 10 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Jadi Ibu Ais, hal yang tidak bijak adalah membiarkan remaja terkungkung dalam belenggu ketidaktahuannya. Remaja terjebak di lingkungan negatif. Jelas peran orang tua, keluarga, sekolah, lingkungan sekitar bahkan pemerintah dapat menjadi lentera bagi kegelapan remaja itu. Bukan sebaliknya “menggelapkan” apa yang sudah jelas terang, demi perkembangan remaja ke arah lebih positif. Secara gamlang di Indonesia yang menganut asas pro life, tindakan aborsi dilarang. Aborsi tidak dapat dibenarkan apalagi dilakukan semena-mena tanpa indikasi medis jelas sesuai ketentuan perundang-undangan berlaku. Demikian mudah-mudahan bermanfaat dan dapat menambah wawasan kita semua. Terima kasih.
dr. I Gusti Ngurah Made Bayuningrat, Sp.OG., M.M., C.Ht.
Dosen & Dokter Obgin Fakultas Kedokteran & Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa
RSU. Premagana & RSIA Puri Bunda
Ya, aborsi adalah suatu akibat perilaku seks di luar pernikahan, seperti yang telah dipaparkan dr. Bayu, Indonesia tegas menganut asas pro life. Hanya pada praktiknya masih sering di dalam komunitas, beberapa kasus aborsi terus dilakukan. Memang memiliki anak adalah investasi kebahagian kita terbesar bukan? Bangga sekali memang sebagai orangtua bila anak beranjak remaja. Di balik kebanggaan itu, ditenggarai antara orangtua seringkali menampakkan tanda perilaku rasa khawatir, kecemasan dan bahkan ketakutan. Semoga kecemasan ini tidak menjadi hal besar. Kecemasan membuat panik para orangtua. Bila kita memiliki anak beranjak dewasa, selayaknya bijak menyikapi diri dengan membekali diri, dengan mencari informasi tentang siapakah sesungguhnya diri remaja itu. Proses perkembangan fisik, pemikiran dan mental kejiwaan apa yang mereka akan alami?
Kita layak selalu optimis melihat remaja. Apalagi kebiasaan remaja menampakkan perilaku optimis. Saya senang sebutan remaja yaitu anak muda dengan “hormon berjalan.” Lucu ya… kedengarannya? Ya sebenarnya bukan persoalan lucunya. Mereka memang sedang pada masa proses perkembangan hormonal pesat. Pertumbungan dari masa kanak-kanak menuju usia remaja/dewasa awal. Perilaku yang bisa terbaca pada masa anak remaja, salah satunya kecenderungan adanya perlawanan. Debat dan konflik kita sebagai orangtua kerap terjadi dengan remaja.
Ketika masa kanak-kanak, si anak tidak banyak memperlihatkan perlawanan. Bagaimana itu bisa terjadi? Fokus pada frase ‘’perlawanan’’. Pada masa ini, remaja mulai membentuk ukuran-ukuran tentang egonya (ke-aku-annya). Nilai-nilai dirinya, pilihan-pilihannya, keberadaan dirinya, menuju pendewasaan mentalnya. Kondisi yang dihadapi, seringkali tidak sejalan dengan para orangtua mereka.Peristiwa ini memang wajar. Sekali lagi wajar. Coba kita yang telah menjadi orangtua, kembali membayangkan, ketika proses kita menjadi dewasa, dari masa kanak-kanak. Biasanya memang tidak mudah. Selain perkembangan fisik yang pesat, perkembangan hormonnya juga pesat. Itulah sebabnya mereka juga mengalami ketidaknyamanan dalam transisi hormonal. Belum lagi dalam sisi perkembangan ego mereka baik dalam lingkungan keluarga, terlebih tuntutan sosial. Masa anak-anak, orangtua cenderung protektif (melindungi anak). Perubahannya pada masa remaja. Anak tidak berkehendak lagi orangtua banyak turut campur dalam persoalan hidupnya, mengapa? Sekali lagi pembentukan ego diri. Tantangan lain yang dihadapi adalah bentuk tanggung jawab keluarga, sosial yang berubah. Hal itu membuat proses ketergantungan diharuskan menjadi ukuran kemandiriaan. Sehingga beberapa orangtua perlu menyadari, apakah mereka terlalu protektif pada anak. Apa cenderung sangat pengatur, ataukah memilih kesempatan justru untuk mendukung kemandiriaan anak.
Seperti Khalil Gibran menyatakan anak seperti anak panah yang kita panahkan. Anak panah akan menancap di mana dia inginkan. Karena itu, orangtua di tuntut selayaknya mampu memahami keberadaan masa perkembangannya, mendukung minat anak remaja pada hal-hal positif. Jalan yang bisa dilakukan adalah mendukung mereka dengan cara berkomunikasi seperti teman sebaya mereka. Lakukan diskusi, sebagai remaja yang berproses, menjadi pribadi mandiri. Dukung dengan diberikan kesempatan mereka menyatakan pendapatnya sebebas mungkin. Mereka layak dianggap mampu belajar berpendapat dan mengambil keputusan dari pilihan-pilihan hidup. Jangan banyak memberikan serangan balik seperti tembakan beruntun. Bila pendapat mereka tidak sesuai, dengan pendapat orangtua, kemampuan mendengar kita sangat diperlukan. Dengarkan keluh-kesah mereka terlebih dahulu. Temukan, tanyakan alasan pendapat dan perbuatan mereka yang berlawanan dengan kita. Temukan dengan tenang dan hati-hati. Setelah data dan fakta diamati dengan jelas, barulah secara halus ajak mereka berbicara dari hati ke hati, termasuk berbicara soal pendidikan seks.
Bila pada masa ini banyak konflik antara anak dan orangtua dan muncul pertentangan hebat, maka anak akan tidak mau mendekatkan diri pada orangtua. Alasannya, mereka merasa orangtua bukan teman nyaman diajak berdiskusi. Diskusi sangat dianjurkan topik apa pun termasuk persoalan seksual sekalipun. Wahai para orangtua, sebaiknya ambil kesempatan luar biasa ini. Katakana pada anak, kitalah sumber jawaban pertama yang harus ditemui anak kita, dalam pertanyaan-pertanyaan tentang seks masa remaja, sebaiknya ditujukan pada orangtua mereka sendiri. Maka orangtua seharusnya menjadikan dirinya agen. Kita selaku orangtua harus selalu siap didatangi anak kita bertanya berbagai hal. Buat suasana hati di mana anak remaja merasa selalu nyaman berbicara pada orangtuanya selayaknya teman.
Disarankan apa pun masalah remaja di keluarga sebaiknyalah mampu diselesaikan di dalam keluarga terlebih dahulu. Peganglah prinsip ini dahulu, termasuk ketika muncul masalah perilaku seks di luar pernikahan, yang berakibat terjadi kehamilan tidak diinginkan. Persoalan aborsi sungguh persoalan moral manusia. Aborsi berhubungan dengan diri kita sebagai manusia dan jiwa. Dalam situasi anak hamil, usahakan jangan gegabah mengambil keputusan. Pikirkan segala akibat dari perbuatan aborsi. Orangtua dan anak yang melakukan aborsi biasanya akan selalu dikejar rasa bersalah. Ini dampak psikologis di mana ada perasaan bersalah telah menghabisi sebuah nyawa janin atau bayi. Bahkan akibat yang paling traumatik adalah mampu mendorong perilaku depresif. Aborsi jelas memiliki efek psikologis, bahkan fisik (kemungkinan terjadi infeksi pada organ reproduksi dan atau rongga perut).
Bila membahas aborsi, maka di sinilah pentingnya kita orangtua harus dibekali pengetahuan fisik kesehatan, dan pengetahuan tentang psikologi anak remaja, untuk menyelesaikan persoalan anak kita. Sering luangkanlah waktu untuk berdiskusi, dengan anak dalam suasana santai. Dalam acara tidak formal alias rekreasi. Bahas masalah perkembangan seksual, hubungan seksual dan gaya hidup seks bebas di antara remaja. Terangkan tentang perkembangan alat reproduksi, alat kontrasepsi (walau seolah-olah terasa kontroversial. Dalam hal ini sebuah realitas perlu kita pertimbangkan, mengapa? Realitas pada masa kini, masalah remaja makin pelik. Maraknya gaya hidup bebas dalam perilaku seksual, termasuk persoalan penyakit kelamin dan HIV. Astungkara.
Tips orangtua hadapi kasus remaja, sebagai berikut :
Caecilia Nirlaksita R. S.Psi., Psikolog, C.Ht.
Psikolog dan Dosen Tamu di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa Denpasar
Praktik pada Klinik Tri K- Tohpati