Selamat siang Bapak Dokter. Saya Pak Nyoman di Bedahulu. Saya memiliki dua orang anak seusia Engeline, sangat prihatin dengan adanya kasus seperti Engeline. Apa yang harus sayalakukan untuk menghindari terjadinya kasus di atas. Terima kasih.
Violence on Children atau kekerasan terhadap anak bukan persoalan baru di kehidupan ini. Ingatkah kita, kasus Arie Hanggara beberapa tahun lalu? Selama dua bulan terakhir marak terjadi kasus ‘’kekerasan pada Engeline’’ bahkan terbunuhnya tubuh lemah anak kecil ini. Kondisi chaos makin memperburuk situasi. Perlu psikologi chaos menghadapi isu kekerasan yang tersaji sebagaimana fakta di media massa, media sosial tentang kasus kekerasan itu. Reaksi-reaksi yang muncul bukan saja respons yang mengarah pada kebenaran hukum (justice) dan kedamaian (peace), namun justru melahirkan lontaran-lontaran yang menyatakan tindak kekerasan itu baik secara mental (kata-kata mengecam). Selain itu muncul perbuatan over-reaktif.
Contoh kasus kekerasan di antaranya kekerasan sekelompok teman pada salahsatu teman yang lain. Kekerasan anak terhadap anak, kekerasan dewasa pada anak untuk dimanipulir sebagai pekerja anak/buruh (kasus anak sebagai pengemis), kekerasan bentuk penyimpanganseksual pada anak (paedofilia), pemerkosaan anak, voyeurism anak (dimanipulasi dalam kegiataneksploitasi seksual), kasus kekerasan orangtua kepada anak kandung, anak asuh, anak angkat (adopsi).
Pengalaman hidup kita memperlihatkan usia anak adalah usia yang memegang peranan paling penting. Usia sesungguhnya sangat berpengaruh dalam pembentukan kesehatan fisik dan kesehatanmental, mengarah pada kondisi kesadaran diri. Anak yang mendapatkan kekerasan terutama pada usia awal perkembangan (3-5 tahun) atau juga saat masa sekolah 7-18 tahun memperlihatkan adanya kecenderungan perilaku mal adaptif (mengalami kesulitan penyesuaian berperilaku). Akibatnya, si anak menjadi tidak memiliki kepercayaandiri. Anak juga akan mengalami masalah konsentrasi, ia mengalami penyimpangan perilaku/kepribadian di masa sekolah anak, remaja dan ketika dewasa. Kekerasan pada anak senyatanya menimbulkan perasaan tidak nyaman, ketakutan, kekecewaan, rasadipermalukan, kecemasan bahkan kemarahan luar biasa. Situasi menjadi kusut dan tidak pernah selesai padamasa perkembangan mentalnya sampai anak menjadi dewasa. Biasanya anak yang pernah mengalami kekerasan atau sebagai saksi mata kekerasan (menyaksikan orangtua bertengkar/saling memukul). Bila dia anak perempuan akan mengalami kecenderungan mendapatkan perlakuan kekerasan oleh laki-laki di masa dewasa. Sedangkan bila anak laki-laki, maka dia akan memiliki kecenderungan sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan ataupun laki-laki.Jika pada anak pernah di-bully alias diperlakukan tidak senonoh oleh pelaku paedofilia, anak itu memiliki kecenderungan menjadi pelaku bullying dan paedofilia. Persoalan yang lebih parah pada kasus anak berperilaku mal-adaptif. Masalahnya kekerasan adalah persoalan yang berakar utama pada ‘’kecemasan’’ yang ada dalam perasaannya. Perkembangan mental yang terhambat sering juga memicu kecenderungan kecanduan narkoba, rokok, alkohol. Bahkan kecanduan seks (cenderung dengan kekerasanatau tanpa kekerasan).
Pendapat anak memang sulit mendengar, tetapi mereka tidak pernah salah untuk meniru. Maka ketika anak belajar tentang kekerasan dia akan dengan mudahnya meniru perilaku kekerasan ini. Kita sebagai bagian dari masyarakat, dalam kesadaran penuh bermasyarakat, hendaknya menyediakan diri lebih aktif terlibat dalam menentang budaya kekerasan. Menentang budaya kekerasan berarti tidak melakukan kekerasan, sehingga yang dilakukan usaha lebih mengarah pada keadilan dan kedamaian. Perilaku antibudaya kekerasan bisa dimulai dengan cara sederhana tentang pencarian informasi, memahami detail konsep perkembangan fisik dan jiwa anak, mencari informasi dari media cetak maupun internet yang kebenarannya bisa dipercaya atau lebih jelas lagi. Bisa juga mendatangi para ahli perkembangananak, bisa ke dokter anak atau psikolog, apalagi bila anak kita disinyalir memiliki gejala kecenderungan perilaku tidak seperti kebiasaan anak kita pada kesehariannya. Para ahli yang memiliki pendidikan mengenai persoalan perkembangan anak dari lahir sampai usia tua, tentunya akan membantu kita dalam memecahkan masalah anak dengan cara yang tepat. Kita sebagai orangtua selalu berusaha untuk tidak berkata-kata kasar yang akan berakibat kekerasan mental pada anak, apalagi sampai hati memukuli anak kita sendiri. Ini merupakan proses pembelajaran kita sebagai orang dewasa yang tentu saja tidak mudah, apalagi pada kondisi kita yang disibukkan oleh pekerjaan dan tanggung jawab hidup lainnya. Anak yang hanya bisa meniru orang dewasa, seharusnya diberi contoh perilaku kita yang baik. Penyimpangan dalam perkembangan kepribadian anak sebagai korban kekerasan sebenarnya masih bisa ditanganidengan bantuan tenagaahli seperti psikolog, psikiater dan juga dokter, hal yang perlu juga adanya keterlibatan pihak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim dan pengacara.
Caecilia Nirlaksita. S.Psi., Psikolog, C.Ht.
Psikolog berpraktik pada Klinik Tri K-Tohpati Dosen Tamu di Fakultas Kedokteran Warmadewa Denpasar