Saya seorang ibu rumah tangga yang bekerja di travel agent. Anak saya berusia 7 tahun dan bermasalah. Diasulit diberi tahu. Bayangkan setiap saat saya pulang kantor, saya selalu melihat dia belum mandi dan hanya asyik dengan gadgetnya. Jadi saya sering uring-uringan, sudah ada pembantu tetapi saya masih harus memberi tahu dia menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Anak saya mengalami kesulitan membaca, dia tidak menyukai membaca dan perilakunya itu lho bu, kok seperti tidak mau tahu apa pun. Aduh Ibu bagaimana saya harus mengatasi masalah anak saya ini?
Ibu, saya bisa memahami persoalan yang ada di keluarga ibu. Bolehkan saya mengajukan pertanyaan? Apakah setelah bekerja atau pada hari libur ibu memiliki waktu khusus dengan anak ibu, setidaknya 30 menit? Apakah ibu pernah bercerita pada anak ibu, membacakan cerita pada dia? sementara ibu memikirkan jawabannya. Marilah kita mulai sharing tentang garis besar kultur kebiasaan membaca.
Sebenarnya masyarakat Indonesia memiliki kebudayaan bercerita. Cerita biasanya berupa pengalaman yang dialami sehari-hari. Kisah itu berisi nilai hidup, kebijaksanaan, norma hidup. Cerita melibatkan bahasa baik bahasa tradisi etnik, bahasa nasional ataupun bahasa asing. Kebiasaan bercerita juga sering berupa humor. Cerita tentang peri, cerita tentang pewayangan, cerita tentang binatang, bisa juga cerita yang mengandung teka-teki, buku bacaan.
Setiap anak kita akan senang mendengarkan cerita. Bahkan dalam penelitian psikologi, telah terbukti ibu yang sedang hamil pada usia kehamilan lima bulan – di mana telinga calon anak sudah terbentuk — bila rajin membacakan cerita pada calon bayi, maka ketika bayi lahir, dia akan tumbuh dan berkembang dengan perilaku, mudah menyesuaikan diri pada situasi.
Anak-anak selalu memiliki motivasi untuk mengenal dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, dalam upaya pengayaan konsep berpikirnya. Melalui cerita, anak mulai tertarik masalah kehidupan yang sesuai minat atau interes anak. Kemudian anak berusaha mengejar informasi yang lebih lagi, sehingga dia memiliki motivasi tinggi untuk bisa mendengarkan.
Makin banyak bacaan, sampai saatnya kelak, dia dengan sendirinya ingin bisa membaca. Bahkan bisa muncul kemauan untuk berkreasi dengan menuliskan cerita. Memang dengan mengenal bacaan atau cerita akan memotivasi anak untuk mengembangkan kemampuan membaca, bahkan kemampuan menulis pada anak.
Pengalaman membaca pertama kali pada anak, lebih banyak ditentukan oleh interaksi sosial, di mana anak kita berada. Jelasnya kultur atau kebiasaan membaca dari anak dimunculkan dari motivasi anak, dipelajari anak dalam keluarga kecil dan atau komunitas/lingkungan. Segala perkembangan anak berangkat pada keluarga. Keluarga memegang kendali sebagai penumbuh suasana anak untuk memulai kultur membaca. Kultur membaca membawa kebiasaan untuk mampu menumbuhkan kesadaran anak kita, sehingga anak-anak kitalah pembawa kemajuan sebagai pelaku-pelaku kehidupan yang pada akhirnya, meningkatkan pendidikan masyarakat.
Memang dalam mendidik anak, dalam psikologi perkembangan anak, dinyatakan proses belajar merupakan proses hidup yang panjang. Proses hidup dimulai dari kebiasaankebiasaan. Orangtualah sebagai model yang dicontoh anak- anak mereka. Melalui kultur membaca yang dipelajari dari orangtua, maka anakmengalami kemajuan pesat dalam pengetahuan terhadap dunia luar dirinya dan keluarganya. Kemajuan mengenal dan memahami tanggung jawab kehidupan sesuai perkembangan usianya, menghasilkan pengetahuan tentang kebiasaan kultur lain, sehingga mengembangkan juga cara menyelesaikan masalah dan cara berpikir anak.
Kultur membaca dapat mengembangan kualitas pemikiran anak seperti mengembangkan kemampuan berimajinasi, kemampuan kreatif, kemampuan memecahkan masalah, serta anak mulai belajar peka pada persoalan kemanusiaan dan kehidupan anak bertumbuh dalam mengenal perasaan. Bila kultur membaca dimunculkan pada keluarga, dicontohkan ayahibu pada anak- anaknya maka anak dengan sendirinya akan memiliki kesadaran mencintai buku. Buku sebagai symbol alat budaya membaca, lalu berkembang dengan menyayangi alat tulis. Alat tulis itu juga sebagai simbol alat budaya baca. Anak akan mulai tertarik memiliki buku-buku mereka sendiri, sehingga anak dihadapkan pada hal penataan koleksi buku-buku bacaan mereka. Muncul kebersamaan antara orangtua dan anak merawat buku-buku mereka. Bagaimana mengajarkan cara membuka buku dengan berhati-hati dan bagaimana bersama anak menata buku cerita berdasar nomor buku, jenis cerita, jenis informasi. Inilah pembelajaran positif yang kita dapatkan, yaitu kesadaran mencintai buku, merawat dan mulai mampu berpikir sistematis dalam hal menata buku, bahkan muncul perilaku disiplin ketika ada tanggung jawab merawat buku mereka sendiri.
Proses yang dialami bersama dalam kultur membaca, merawat buku, menamai benda membentuk konsep pada anak, dilakukan dengan kemampuan bercerita. Hal itu bisa berkembang dengan sendirinya asalkan rutin dilakukan. Kemampuan mengenal kata dan perbendaharaan kata akan berkembang. Membaca dan mendiskusikan bacaan dapat menciptakan kedekatan perasaan antara orangtua dan anak melalui kontak mata yang dilakukan dalam prosesnya. Orangtua mulai belajar bahwa anak-anak memilikiminat tertentu. Orangtua tidak bisa memaksakan diri. Orangtua mulai belajar menghormati hakikat anak sebagai individu, yang mandiri sesuai pendapat-pendapat yang dilontarkan mereka. Pada proses ini anak belajar menumbuhkan kemandirian, sehingga membutuhkan kebesaran hati orangtua untuk menghormati pendapat mereka. Anak dicontohkan kebisaan orangtua dalam membaca, secara bersama dengan secara sadar, memilih terlibat dalam proses belajar membaca dengan motivasi yang dimilikinya. Menyediakan diri sebagai orangtua dalam kebersamaan membaca dan mendiskusikan apa yang telah dibaca bersama-sama, akan memancing anak ingin mengetahui lebih banyak jenis cerita, sehingga proses pemahaman anak pada area publik/area masyarakat dan kehidupan lebih berkembang. Betapa bangganya kita berusaha bersama anak mengantarkan mereka menjadi jenis anak yang memiliki kemajuan kualitas secara pribadi. Menjadi pribadi mandiri, pribadi yang sadar sosial dan ekonomi dengan memahami masalah sosial yang terjadi baik dari apa yang dibacanya. Kultur membaca mengarahkan anak kita menjadi pribadi yang divergen, terbuka pada apa pun. Mengarahkan kita memiliki pemikiran rasional, pemikiran logis, sehingga mengarahkan kita mampu menumbuhkan kemampuan critical awareness/ kesadaran kritis.
Kultur membaca membuat anak juga sangat dekat dengan simbol/tanda kultural. Dengan mudah anak terinternalisasi dari tanda-tanda cultural berupa: buku, pensil, alat tulis, bahasa dan tanda-tanda psikologis, dll. Maka akan mempermudah anak siap terlibat dalam kegiatan persekolahan pada usia yang sesuai.
1. Sediakan waktu minimal 30 menit untuk memiliki waktu keluarga setiap hari, pada jam tertentu yang disepakati antara orangtua dan anak.
2. Matikan televisi pada jam kesepakatan ini dan jam anak belajar dan usahakan mengurangi ketergantungan anak pada gadget. Berikan contoh konkret, yaitu di depan anak tidak menggunakan gadget, buat kesepakatan hanya bisa diakses gadget pada waktu liburan.
3. Beri kesempatan anak memilih topik yang disukai, atau ajak anak secara halus untuk diarahkan pada topic yang akan dibahas bila ada hal yang menjadi agenda orangtua untuk memilih topik tertentu.
4. Bacakan cerita dengan keras, dengan ucapan dan pelafalan yang jelas, gunakan bahasa yang baik.
5. Lihat ekspresi anak kita sambil menatap matanya, bila menginginkan reaksi perasaannya terlihat, lakukan ekspresi melalui wajah dan suara.
6. Berikan kesempatan anakanak menceritakan kembali cerita yang telah didengarnya.
7. Buat rencana liburan berdasar topik bacaan menarik, sehingga anak secara perlahan mulai mampu mengapresiasi buku dengan perasaan asyik.
8. Membuat perpustakaan mini. Secara bersama dengan anak menyepakati di mana buku-buku mereka ditata. Sebaiknya di tempat di mana keluarga selalu bertemu, berkumpul dan terlihat semua anggota keluarga.
9. Bila anak mampu bersikap positif dan memiliki prestasi di sekolah atau dipuji orang lain, karena kebaikan yang dilakukannya, berilah hadiah berupa buku.
10. Jangan khawatir dengan pilihan buku bacaan. Artinya jelas yang positif dan biarkan keinginan dan kultur membaca pada anak berkembang.
Secara psikologis proses dalam kultur membaca bersama anak, meminta kesediaan diri kita, sebagai orangtua berkemauan menyediakan waktu dan diri kita dalam memajukan anak dan memajukan diri kita sebagai orangtua, menjadi diri yang berkembang, dikenal dengan istilah self improvement. Maka jelaslah tanggung jawab kita sebagai orangtua dalam menumbuhkan kultur membaca menjadi persoalan dan tanggung jawab kita dalam mengembangkan pendidikan masyarakat/publik dalam kesehatan mental diri dan sosial.
Caecilia Nirlaksita R. S.Psi, Psikolog, C.Ht.
Psikolog, Hypnoterapist
Anggota Himpunan Asosiasi Psikologi Indonesia (Himpsi) Bali yang menekuni bidang Psikologi Hukum
Ketua Asosiasi Psikologi Forensik wilayah Bali (fasilitator/mediator kasus hokum anak).
Berpraktik pada Klinik Tri K