Seorang ibu tampak berdandan anggun mendatangi klinik, saya bersama anak lakilaki usia 5 tahun. Wajah anak itu cemberut tanpa senyum sedikit pun. Sang ibu menyatakan kesulitan menangani anaknya, Bagas. Di rumah Bagas seringkali memukuli kakak perempuannya tanpa sebab. Bagas merobek-robek buku pelajaran tanpa sepengetahuan kakaknya. Di sekolah, ia seringkali memukuli temantemannya, bahkan menghasut untuk memukuli Anton, anak yang berbadan besar (karena gemuk) tetapi pemalu. Ibu cantik ini tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, karena pihak sekolah meminta anaknya dikeluarkan. Keputusan itu harus diambil pihak sekolah demi memberi rasa aman secara psikologis pada anak lainnya.
Kasus penyiksaan anak di sekolah, bullying, menjadi kasus yang marak. Kasus itu bukan saja baru sebagai suatu tren. Solusinya, perlu dibuat kampanye menyeluruh dalam pendidikan karakter anak. Hasil kajian oleh Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter tahun 2014 menyebutkan, hampir setiap sekolah di Indonesia ada kasus bullying, meskipun bila hanya bullying verbal dan psikologis/mental. Bullying adalah tindakan intimidasi atau melakukan kontrol melalui kuasa dengan cara memaksa atau menekan individu lain atau kelompok lain. Penekan yakin dirinya merasa punya kuasa lebih, terhadap orang yang ditekannya. Penekan kuasa menganggap lemah pihak yang dikuasai. Intimidasi ini bisa dilakukan individu kepada individu, bisa juga dari kelompok kepada individu, atau bahkan individu pada kelompok (bila kelompok ini dianggap lemah). Dalam satu kelompok biasanya ada trouble maker (pengganggu) sebagai inisiator intimidasi, bisa satu individu sebagai inisiator atau lebih,” jelasnya. Penyiksaan/bullying bisa dilakukan anak secara verbal, seperti memaki, menghina, dan menggosip, mempermalukan, mencela, merendahkan, mengejek, mengasingkan. Bahkan kekerasan secara fisik seperti memukul, menendang, menelanjangi, mencubit, dan memalak. Ada pula penyiksaan mental atau psikologis dengan cara memelototi, memandang sinis, mencibir dan mendiamkan orang lain. Penyiksaan yang dialami Bagas oleh pengasuh menyebabkan perasaan marah, malu, dendam, ingin membalas namun tidak mampu, karena merasa kuasanya lebih rendah dari pengasuh yang menguasainya. Apalagi pengasuh sering memperlakukan Bagas secara buruk ketika di depan kakaknya. Muncul rasa malu diperlakukan tidak adil di depan kakaknya. Kasus penyiksaan seperti ini tidak saja bisa dilakukan oleh pengasuh, bahkan sering pula tanpa disadari ataupun disadari dilakukan orangtua yang mendidik anak dengan cara kekerasan secara fisik dengan memukul, mencubit, menjewer. Bisa juga dengan memaki kata-kata kasar serta mengancam, ini kurang bisa dibenarkan walaupun alasannya adalah pendisiplinan. Mari kita mengingat, semua jiwa anak adalah bening. Anak-anak kita umpamakan seperti sebuah spons yang mudah menyerap apa pun yang ada di dekatnya. Bila kita memperlakukan kekerasan, maka mereka ‘’mengkopi’’ kekerasan, bila kita memberi sentuhan cinta kasih, pelukan yang hangat setiap kali berjumpa dan ketika ingin memberi pesan pada mereka, gunakan dan berikan kata-kata positif. Dengan cara itu jelas akan membangun mental positif anak.
Inilah pentingnya fungsi orangtua perlu belajar dari kasus bullying anak. Sebagai pembelajar anak, diharapkan orangtua sedini mungkin mampu membangun kesadaran tentang pentingnya berbicara atau berkomunikasi dari hati ke hati kepada anak. Ketika anak menjadi korban tanyakan dengan kata-kata lembut, apa yang terjadi padanya, apa pun yang diceritakan atau pendapat anak, jangan adakan sanggahan pada keterangannya. Gali terus apa yang terjadi dengan cara santai. Ada kalanya anak senang bila bertatapan mata saat dia menceritakan penyiksaan yang terjadi padanya. Adakalanya anak lebih nyaman dan merasa bebas bila bercerita tanpa menatap mata (khusus pada kasus ini). Cobalah ubah peran mental kita pada saat berkomunikasi, walaupun peran mental kita sebagai orangtua, gunakan komunikasi dengan bahasa mental anak, sehingga dia merasa nyaman seolah-olah berbicara pada teman dekatnya. Diri kita sebagai orangtua, sebagai individu dewasa, kita memiliki tiga wilayah mental kepribadian dalam pendekatan analisis transaksional. Tiga wilayah ini adalah mental anak, mental orangtua, dan mental dewasa. Berkomunikasi pada korban bully, menggunakan pendekatan mental anak bertujuan memudahkan anak menyampaikan kemarahan, kekecewaan dan penghinaan dari pelaku bully. Gunakan perasaan kita, untuk merasakan apa sebenarnya yang dirasakan dan dialami anak (empati). Maka anak pun makin merasa dipahami dan percaya pada kita untuk menceritakan secara detail tentang peristiwa intimidasi/ penyiksaan. Anak dengan sendirinya membuka diri untuk menyampaikan perasaan dan peristiwanya. Mendengarkan saja apa yang disampaikan anak dengan seksama, lihat ekspresinya ketika itu, sekali lagi tidak menggunakan sanggahan pada pendapatnya, agar mendapat penggalian keterangan lebih banyak. Sebagai orangtua dalam menghadapi kasus bullying dan kasus anak yang dihadapi anak, kunci utama kita adalah relasi anak dan orangtua, terletak pada komunikasi. Antisipasinya, orangtua hendaknya setiap saat belajar dari peristiwa berkomunikasi dengan anak, utamanya mengekplorasi kemampuan anak. Anak diupayakan mampu mengembangkan kemampuan verbal-nya untuk menyatakan dirinya agar cenderung berkembang percaya diri, sehingga mampu membela dirinya, ketika mengalami penyiksaan. Dia tidak bisa dianggap lebih lemah oleh pelaku penyiksaan (bullies). Kekerasan yang sering disaksikan anak, bisa kebiasaan kasar yang didapat dalam keluarga, kebiasaan menyaksikan unsur kekerasan, yang ditayangkan televisi, majalah, media sosial, melihat kebiasaan lingkungan sosial, kebiasaan orangtua di rumah atau sering pembantu memperlihatkan kekerasan verbal dan fisik, serta mempelajari kelompok anak seusia (peer group). Bagi orangtua yang anaknya menjadi korban bullying di sekolah, pihak sekolah diharapkan menjadi fasilitator atau mediator antara orangtua korban dan orangtua pelaku. Hati-hati ketika melakukan pendekatan yang langsung berhadapan dengan orangtua pelaku. Kemungkinan justru bisa menimbulkan masalah lebih meluas. Batasi persoalan dengan pendekatan dan penyelesaian sesuai. Beri efek jera pada pelaku bukan menambahkan masalah. Lakukan pendekatan pada perkumpulan orangtua siswa untuk membuat aturan sekolah wilayah bebas bully, lakukan pendekatan ekstrakurikuler dengan drama yang mengajarkan cinta kasih, membuka forum diskusi pada anak dan orangtua, menonton film bersama tentang cinta dan mengasihi sesama.
Caecilia Nirlaksita R, S.Psi., Psikolog, C.Ht.
Ketua Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) Bali Penekun Psikologi Hukum
Fasilitator-Mediator Kasus Hukum Anak
Anggota Himpunan Asosiasi Psikologi Indonesia (HIMPSI) Bali
Pada dasarnya apa pun bentuk kekerasan/intimidasi (bullying) tidak pernah dibenarkan. Seiring berjalannya waktu terjadi permaklumanpermakluman terhadap tindakan kekerasan/intimidasi, terutama yang terjadi pada anak. Tindakan intimidasi menggambarkan suatu bentuk perilaku agresif, di mana individu yang memiliki posisi dominan memiliki tujuan menyebabkan penderitaan fisik dan mental kepada yang lainnya. Dan perilaku ini menimbulkan masalah fisik, emosi dan psikologis pada pelaku dan korbannya. Kejadian ini dapat terjadi di mana saja termasuk di rumah, sekolah, lingkungan sekitar, dan sebagainya dengan berbagai bentuk. Bentuk kekerasan dan pengabaian pada anak dapat berupa pengabaian secara fisik dan emosi, perlakuan fisik yang tidak benar, dan sindroma Munchhausen, termasuk di antaranya kata-kata kasar atau tulisan yang bersifat mengintimidasi. Seperti memanggil seorang anak dengan si gendut, si pincang, si gagap, dsb. Pelaku dan korban kekerasan/intimidasi pada anak harus mendapatkan penanganan cepat dan tepat. Kadangkala, bahkan sering kali orangtua harus dilibatkan dalam penanganan, jika dicurigai sumber intimidasi ada pada orangtua atau orang dekat si anak. Solusinya? Jangan pernah mendiamkan kejadian kekerasan/ intimidasi pada anak, Jika anda ingin melihat kejadian tersebut maka laporkan. Jika terjadi di sekolah laporkan pada guru atau kepala sekolah, jika diperlukan lapor polisi. Periksakan segera pelaku dan korban ke dokter, karena pada dasarnya mereka berdua merupakan korban juga.
dr. I Nyoman Arie Purwana, M.Sc., Sp.A.
Endokrin Anak dan Remaja
Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa